*) PENDAHULUAN
Di Indonesia
terdapat beragam suku,
salah satunya ialah
suku Toraja. Dalam tugas
IBD ini, saya
akan membahas tentang
suku Toraja.
*)
SUKU
TORAJA
Suku Toraja
ialah suku yang menetap
di pegunungan bagian utara
Sulawesi Selatan,
Indonesia.
Populasinya diperkirakan sekitar 1 juta jiwa, dengan
500.000 di antaranya masih tinggal
di Kabupaten
Tana Toraja,
Kabupaten
Toraja Utara,
dan Kabupaten Mamasa.
Mayoritas suku Toraja
memeluk agama Kristen,
sementara sebagian menganut Islam
dan kepercayaan animisme
yang dikenal sebagai Aluk To Dolo.
Pemerintah Indonesia telah mengakui kepercayaan ini sebagai
bagian dari Agama
Hindu Dharma.
Kata toraja
berasal dari bahasa
Bugis, to riaja,
yang berarti "orang yang
berdiam di negeri atas".
Pemerintah
kolonial Belanda
menamai suku ini Toraja pada
tahun 1909. Suku Toraja
terkenal akan ritual pemakaman, rumah
adat tongkonan dan ukiran
kayunya. Ritual pemakaman Toraja
merupakan peristiwa sosial
yang penting, biasanya
dihadiri oleh ratusan orang
dan berlangsung selama
beberapa hari.
Sebelum
abad ke-20, suku Toraja
tinggal di desa-desa
otonom. Mereka masih
menganut animisme dan belum
tersentuh oleh dunia
luar. Pada awal
tahun 1900-an, misionaris Belanda datang dan menyebarkan
agama Kristen. Setelah semakin terbuka kepada dunia luar pada
tahun 1970-an, kabupaten Tana Toraja
menjadi lambang pariwisata Indonesia. Tana Toraja dimanfaatkan
oleh pengembang pariwisata dan dipelajari
oleh antropologi. Masyarakat Toraja sejak
tahun 1990-an mengalami transformasi budaya, dari masyarakat
berkepercayaan tradisional dan agraris,
menjadi masyarakat yang mayoritas
beragama Kristen dan mengandalkan
sektor pariwisata yang terus meningkat.
*) Identitas Etnis
Suku Toraja memiliki sedikit gagasan secara jelas
mengenai diri mereka sebagai sebuah kelompok
etnis
sebelum
abad
ke-20. Sebelum penjajahan
Belanda dan masa pengkristenan,
suku Toraja
, yang tinggal di daerah dataran tinggi
, dikenali berdasarkan desa
mereka
, dan tidak beranggapan
sebagai kelompok
yang
sama. Menyiapkan ritual-ritual
menciptakan hubungan di antara desa-desa,
ada
banyak
keragaman dalam dialek , hierarki sosial , dan berbagai
praktik ritual di
kawasan dataran tinggi Sulawesi.
"Toraja" (dari bahasa pesisir
ke
, yang berarti
orang,
dan Riaja
, dataran tinggi) pertama kali digunakan sebagai sebutan penduduk
dataran rendah untuk penduduk dataran tinggi
. Akibatnya, pada awalnya "Toraja" lebih banyak memiliki hubungan perdagangan
dengan orang
luar seperti suku Bugis dan suku Makassar,
yang menghuni
sebagian
besar
dataran rendah di Sulawesi daripada dengan sesama suku
di dataran tinggi. Kehadiran
misionaris Belanda di
dataran tinggi Toraja memunculkan kesadaran etnis Toraja di wilayah
Sa'dan Toraja, dan identitas bersama
ini
tumbuh dengan bangkitnya pariwisata di Tana Toraja. Sejak itu, Sulawesi Selatan
memiliki empat kelompok etnis utama suku Bugis (kaum mayoritas
, meliputi pembuat kapal dan pelaut), suku Makassar (pedagang dan pelaut), suku Mandar (
pedagang dan
nelayan), dan suku Toraja (petani
di dataran tinggi).
*) Sejarah
Letak Toraja
(hijau) di antara Makassar
(kuning) dan Bugis (merah).
Dulu ada
yang
mengira bahwa Teluk Tonkin , terletak antara
Vietnam utara dan Cina selatan, adalah
tempat
asal
suku
Toraja
. Sebetulnya
, orang Toraja hanya salah satu kelompok penuture bahasa Austronesia . Awalnya, imigran tersebut tinggal di wilayah pantai
Sulawesi, namun akhirnya pindah ke dataran tinggi.
Sejak abad
ke-17
, Belanda
mulai
menancapkan kekuasaan perdagangan dan politik di
Sulawesi melalui Vereenigde Oost
– Indische Compagnie (VOC). Selama
dua abad , mereka mengacuhkan
wilayah dataran tinggi Sulawesi tengah
(
tempat suku Toraja tinggal
) karena sulit
dicapai
dan
hanya
memiliki sedikit
lahan yang
produktif
. Pada
akhir abad ke-19
, Belanda
mulai
khawatir terhadap pesatnya penyebaran
Islam di Sulawesi selatan,
terutama di antara suku Makassar dan Bugis. Belanda
melihat suku Toraja yang menganut
animisme sebagai target yang potensial untuk dikristenkan.
Pada tahun
1920-an,
misi
penyebaran
agama Kristen mulai
dijalankan dengan bantuan
pemerintah kolonial Belanda . Selain menyebarkan
agama
, Belanda juga menghapuskan
perbudakan dan menerapkan pajak daerah .
Sebuah
garis digambarkan di sekitar wilayah Sa'dan
dan disebut Tana Toraja. Tana Toraja awalnya merupakan
subdivisi
dari kerajaan Luwu yang mengklaim wilayah tersebut . Pada
tahun 1946, Belanda
memberikan Tana Toraja status regentschap ,
dan Indonesia mengakuinya sebagai suatu
kabupaten
pada tahun 1957.
Misionaris Belanda yang baru
datang
mendapat perlawanan kuat dari suku Toraja karena penghapusan
jalur perdagangan yang menguntungkan Toraja. Beberapa orang Toraja telah dipindahkan
ke dataran
rendah
secara
paksa oleh Belanda
agar lebih mudah diatur. Pajak
ditetapkan pada tingkat yang tinggi, dengan tujuan untuk menggerogoti kekayaan para
elit
masyarakat
. Meskipun
demikian , usaha-usaha
Belanda tersebut tidak merusak budaya Toraja , dan hanya sedikit orang Toraja yang saat itu menjadi Kristen.
Pada
tahun 1950, hanya 10% orang Toraja
yang berubah agama menjadi Kristen.
Penduduk Muslim di
dataran rendah
menyerang
Toraja pada
tahun 1930-an. Akibatnya,
banyak
orang
Toraja
yang
ingin
beraliansi
dengan Belanda berpindah ke agama Kristen untuk mendapatkan perlindungan politik , dan agar dapat
membentuk gerakan perlawanan terhadap orang-orang
Bugis dan Makassar yang beragama Islam. Antara tahun 1951 dan 1965 setelah kemerdekaan Indonesia
, Sulawesi Selatan
mengalami
kekacauan akibat pemberontakan
yang
dilancarkan
Darul Islam, yang bertujuan untuk mendirikan sebuah negara
Islam di Sulawesi. Perang gerilya yang berlangsung selama 15 tahun tersebut turut menyebabkan semakin banyak orang
Toraja berpindah ke agama Kristen.
Pada tahun 1965 , sebuah
dekret
presiden
mengharuskan seluruh
penduduk Indonesia untuk menganut salah satu dari lima agama yang diakui:
Islam, Kristen
Protestan , Katolik , Hindu dan Buddha. Kepercayaan asli Toraja (aluk) tidak diakui
secara
hukum
, dan suku
Toraja
berupaya
menentang dekret tersebut. Untuk membuat aluk
sesuai dengan hukum, ia harus diterima sebagai bagian dar
I salah satu agama resmi. Pada tahun 1969, Aluk
To Dolo dilegalkan sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.
*)
Masyarakat
Keluarga
Keluarga adalah kelompok sosial dan
politik
utama
dalam
suku Toraja. Setiap desa adalah suatu keluarga besar. Setiap tongkonan memiliki
nama yang dijadikan sebagai nama desa. Keluarga ikut memelihara persatuan desa. Pernikahan dengan sepupu jauh
(sepupu keempat dan seterusnya) adalah praktek umum yang memperkuat
hubungan kekerabatan. Suku Toraja melarang
pernikahan dengan sepupu dekat (sampai dengan sepupu ketiga) kecuali untuk bangsawan, untuk mencegah penyebaran
harta. Hubungan kekerabatan berlangsung secara timbal balik, dalam artian bahwa keluarga besar saling menolong dalam pertanian,
berbagi dalam ritual kerbau, dan saling membayarkan
hutang.
Setiap orang menjadi anggota dari keluarga ibu dan
ayahnya.
Anak, dengan demikian, mewarisi berbagai hal dari ibu dan ayahnya, termasuk tanah dan bahkan utang keluarga. Nama anak diberikan atas dasar kekerabatan, dan biasanya
dipilih berdasarkan nama kerabat yang telah meninggal. Nama bibi, paman dan sepupu yang biasanya disebut atas nama ibu, ayah dan saudara kandung.
Sebelum adanya pemerintahan resmi oleh pemerintah kabupaten Tana Toraja, masing-masing desa melakukan pemerintahannya
sendiri. Dalam situasi tertentu, ketika satu keluarga Toraja tidak bisa menangani masalah mereka sendiri, beberapa desa biasanya membentuk kelompok; kadang-kadang, beberapa
desa akan bersatu melawan
desa-desa lain. Hubungan antara keluarga diungkapkan melalui darah, perkawinan, dan berbagi rumah leluhur
(tongkonan), secara praktis ditandai oleh pertukaran
kerbau dan babi dalam
ritual. Pertukaran tersebut tidak hanya membangun hubungan politik dan budaya antar keluarga tetapi juga menempatkan masing-masing orang dalam hierarki sosial: siapa yang menuangkan
tuak, siapa yang membungkus mayat dan menyiapkan persembahan, tempat setiap orang boleh atau tidak boleh duduk, piring apa yang harus digunakan atau dihindari, dan bahkan potongan daging yang diperbolehkan untuk masing-masing orang.
*) Kelas sosial
Dalam masyarakat
Toraja
awal, hubungan keluarga bertalian dekat dengan
kelas sosial. Ada tiga tingkatan
kelas
sosial: bangsawan,
orang biasa, dan budak (perbudakan dihapuskan pada tahun 1909 oleh pemerintah Hindia Belanda). Kelas sosial diturunkan melalui ibu. Tidak diperbolehkan untuk menikahi
perempuan
dari
kelas
yang lebih rendah tetapi diizinkan
untuk menikahi perempuan dari kelas yang
lebih tinggi, ini bertujuan untuk meningkatkan status pada keturunan
berikutnya.
Sikap
merendahkan dari bangsawan
terhadap rakyat jelata masih dipertahankan
hingga
saat ini karena alasan martabat keluarga.
Kaum bangsawan, yang dipercaya sebagai keturunan dari
surga, tinggal di tongkonan, sementara rakyat
jelata
tinggal di rumah yang lebih sederhana (pondok bambu yang disebut banua).
Budak tinggal di gubuk kecil
yang
dibangun
di
dekat
tongkonan milik
tuan
mereka.
Rakyat
jelata boleh
menikahi
siapa
saja
tetapi
para
bangsawan
biasanya
melakukan pernikahan dalam
keluarga
untuk
menjaga
kemurnian
status
mereka.
Rakyat biasa
dan
budak
dilarang
mengadakan
perayaan
kematian. Meskipun didasarkan
pada
kekerabatan dan status keturunan, ada juga beberapa gerak sosial yang dapat memengaruhi
status seseorang, seperti pernikahan atau perubahan jumlah kekayaan. Kekayaan dihitung berdasarkan
jumlah
kerbau yang dimiliki.
Budak dalam masyarakat Toraja merupakan properti milik keluarga. Kadang-kadang orang Toraja
menjadi
budak
karena
terjerat utang dan membayarnya dengan cara menjadi budak. Budak bisa dibawa saat perang, dan perdagangan
budak
umum
dilakukan. Budak bisa membeli kebebasan mereka, tetapi anak-anak mereka tetap mewarisi status budak. Budak tidak diperbolehkan memakai perunggu atau emas, makan dari piring yang
sama dengan
tuan mereka, atau berhubungan seksual dengan perempuan merdeka. Hukuman bagi pelanggaran tersebut yaitu hukuman mati.
*) Agama
Sistem kepercayaan tradisional suku Toraja adalah kepercayaan animisme politeistik yang disebut aluk, atau "jalan"
(kadang diterjemahkan sebagai
"hukum"). Dalam mitos Toraja, leluhur orang Toraja datang dari surga dengan menggunakan
tangga
yang kemudian digunakan oleh suku Toraja sebagai cara berhubungan dengan Puang Matua, dewa pencipta. Alam semesta,
menurut aluk, dibagi menjadi dunia atas (Surga) dunia
manusia (bumi), dan dunia bawah.
Pada awalnya,
surga
dan bumi menikah dan menghasilkan
kegelapan,
pemisah,
dan kemudian muncul cahaya. Hewan tinggal
di dunia bawah yang dilambangkan dengan tempat berbentuk persegi panjang yang dibatasi
oleh
empat
pilar,
bumi
adalah
tempat
bagi umat manusia, dan surga terletak
di
atas,
ditutupi
dengan
atap
berbentuk
pelana. Dewa-dewa Toraja lainnya adalah Pong Banggai di Rante (dewa bumi), Indo' Ongon-Ongon (dewi gempa bumi), Pong Lalondong (dewa kematian), Indo' Belo Tumbang (dewi pengobatan),
dan
lainnya.
Kekuasaan di
bumi
yang
kata-kata
dan tindakannya
harus
dipegang baik dalam kehidupan pertanian maupun dalam
upacara pemakaman,
disebut to minaa (seorang pendeta aluk). Aluk bukan hanya sistem
kepercayaan, tetapi juga
merupakan
gabungan
dari
hukum,
agama,
dan
kebiasaaan.
Aluk mengatur kehidupan bermasyarakat, praktik pertanian, dan ritual keagamaan. Tata cara Aluk bisa berbeda
antara
satu desa dengan desa lainnya. Satu hukum yang umum adalah peraturan bahwa
ritual kematian dan kehidupan harus dipisahkan. Suku Toraja percaya bahwa
ritual kematian akan menghancurkan jenazah
jika
pelaksanaannya
digabung dengan ritual kehidupan. Kedua ritual tersebut sama pentingnya. Ketika ada para misionaris dari Belanda, orang Kristen Toraja tidak
diperbolehkan menghadiri atau
menjalankan
ritual
kehidupan,
tetapi diizinkan melakukan ritual kematian. Akibatnya, ritual kematian
masih sering dilakukan hingga saat ini, tetapi
ritual kehidupan sudah mulai jarang dilaksanakan.
*) Kebudayaan
Tongkonan
Tiga tongkonan di desa Toraja.
Tongkonan adalah rumah
tradisional
Toraja
yang
berdiri
di
atas tumpukan kayu dan dihiasi dengan ukiran berwarna merah, hitam, dan kuning. Kata "tongkonan" berasal dari bahasa Toraja tongkon ("duduk").
Tongkonan merupakan pusat
kehidupan sosial suku
Toraja.
Ritual
yang berhubungan dengan
tongkonan
sangatlah
penting
dalam
kehidupan spiritual suku
Toraja
oleh
karena
itu semua anggota keluarga diharuskan
ikut serta karena Tongkonan melambangan hubungan mereka
dengan
leluhur mereka. Menurut cerita rakyat Toraja, tongkonan pertama dibangun di surga dengan empat tiang. Ketika leluhur suku Toraja turun ke
bumi,
dia
meniru rumah tersebut dan menggelar upacara yang besar.
Pembangunan
tongkonan
adalah
pekerjaan
yang
melelahkan
dan biasanya dilakukan dengan
bantuan
keluarga
besar.
Ada
tiga
jenis
tongkonan. Tongkonan layuk
adalah
tempat
kekuasaan tertinggi,
yang
digunakan sebagai pusat "pemerintahan". Tongkonan pekamberan adalah milik anggota keluarga yang memiliki wewenang tertentu dalam adat dan tradisi lokal sedangkan anggota keluarga biasa tinggal di tongkonan batu. Eksklusifitas kaum bangsawan atas tongkonan semakin berkurang seiring
banyaknya
rakyat
biasa yang mencari pekerjaan yang menguntungkan di daerah lain
di Indonesia. Setelah
memperoleh
cukup
uang, orang biasa pun mampu membangun tongkonan yang besar.
*) Ukiran kayu
Ukiran kayu
Toraja: setiap panel melambangkan
niat baik.
Bahasa Toraja
hanya
diucapkan
dan
tidak
memiliki
sistem
tulisan. Untuk
menunjukkan konsep
keagamaan
dan sosial, suku
Toraja
membuat ukiran kayu dan menyebutnya
Pa'ssura (atau "tulisan"). Oleh karena itu, ukiran kayu merupakan perwujudan budaya Toraja.
Setiap ukiran memiliki nama
khusus.
Motifnya
biasanya
adalah
hewan dan
tanaman yang melambangkan kebajikan, contohnya tanaman air seperti gulma air dan hewan seperti kepiting dan kecebong yang melambangkan kesuburan. Gambar
kiri
memperlihatkan
contoh
ukiran
kayu
Toraja,
terdiri atas 15 panel persegi. Panel tengah bawah melambangkan kerbau atau kekayaan, sebagai harapan agar suatu keluarga memperoleh banyak kerbau. Panel
tengah melambangkan
simpul
dan kotak, sebuah harapan agar semua keturunan
keluarga
akan
bahagia
dan
hidup
dalam
kedamaian,
seperti
barang-barang
yang
tersimpan
dalam
sebuah
kotak.
Kotak
bagian
kiri
atas
dan kanan
atas
melambangkan hewan air, menunjukkan kebutuhan untuk
bergerak cepat
dan bekerja keras, seperti hewan yang
bergerak di permukaan air. Hal ini
juga
menunjukkan
adanya
kebutuhan
akan
keahlian tertentu untuk menghasilkan hasil
yang baik.
Keteraturan
dan
ketertiban
merupakan
ciri
umum dalam ukiran
kayu Toraja
(lihat
desain tabel di
bawah),
selain itu ukiran kayu
Toraja
juga abstrak
dan geometris. Alam sering digunakan sebagai
dasar dari ornamen Toraja, karena alam penuh dengan
abstraksi dan geometri yang teratur. Ornamen Toraja dipelajari
dalam
ethnomatematika dengan
tujuan mengungkap struktur matematikanya meskipun suku
Toraja
membuat
ukiran ini hanya berdasarkan
taksiran
mereka sendiri. Suku Toraja menggunakan bambu untuk membuat oranamen geometris.
Beberapa
motif ukiran Toraja
|
|||
pa'tedong
(kerbau) |
pa'barre
allo
(matahari) |
pa're'po'
sanguba
(menari) |
ne'limbongan
(perancang legendaris) |
*) Upacara pemakaman
Dalam masyarakat
Toraja,
upacara
pemakaman
merupakan
ritual
yang paling penting dan
berbiaya
mahal.
Semakin
kaya
dan
berkuasa
seseorang, maka biaya upacara
pemakamannya akan semakin mahal. Dalam agama aluk, hanya
keluarga bangsawan yang berhak
menggelar pesta pemakaman yang besar.
Pesta pemakaman seorang bangsawan biasanya
dihadiri
oleh
ribuan orang
dan berlangsung selama beberapa
hari. Sebuah tempat prosesi pemakaman yang disebut rante
biasanya
disiapkan pada sebuah padang rumput
yang
luas,
selain sebagai tempat pelayat yang hadir, juga sebagai tempat lumbung padi, dan berbagai perangkat pemakaman lainnya yang dibuat
oleh keluarga yang ditinggalkan. Musik suling, nyanyian, lagu dan puisi, tangisan dan ratapan merupakan
ekspresi
duka
cita
yang
dilakukan oleh suku Toraja tetapi
semua
itu tidak berlaku untuk pemakaman anak-anak, orang miskin, dan orang kelas rendah. Upacara pemakaman ini kadang-kadang baru digelar setelah berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun
sejak kematian yang bersangkutan, dengan tujuan agar keluarga
yang ditinggalkan dapat mengumpulkan
cukup uang untuk menutupi biaya
pemakaman. Suku Toraja percaya bahwa
kematian
bukanlah sesuatu yang datang dengan tiba-tiba tetapi merupakan sebuah
proses yang bertahap menuju Puya (dunia arwah, atau akhirat). Dalam masa penungguan itu, jenazah dibungkus dengan beberapa helai kain dan disimpan di
bawah tongkonan. Arwah orang mati dipercaya tetap tinggal di desa sampai
upacara pemakaman selesai, setelah itu arwah akan melakukan perjalanan ke Puya.
Sebuah makam.
Bagian lain
dari
pemakaman
adalah penyembelihan kerbau . Semakin berkuasa seseorang maka semakin banyak
kerbau
yang disembelih
. Penyembelihan
dilakukan dengan menggunakan golok . Bangkai kerbau , termasuk kepalanya, dijajarkan di padang
, menunggu pemiliknya,
yang sedang dalam "masa tertidur". Suku
Toraja percaya bahwa
arwah
membutuhkan
kerbau
untuk melakukan
perjalanannya
dan akan lebih
cepat sampai di Puya jika ada banyak
kerbau. Penyembelihan puluhan
kerbau dan
ratusan babi merupakan puncak
upacara pemakaman
yang diringi musik dan
tarian
para
pemuda
yang
menangkap
darah
yang
muncrat
dengan bambu panjang . Sebagian daging
tersebut
diberikan
kepada para tamu dan dicatat karena
hal
itu akan dianggap sebagai utang pada keluarga almarhum
Ada tiga
cara pemakaman:
Peti
mati
dapat
disimpan
di
dalam gua , atau di makam batu berukir , atau digantung
di tebing . Orang kaya kadang-kadang dikubur di makam
batu
berukir
. Makam tersebut
biasanya
mahal dan waktu pembuatannya sekitar
beberapa
bulan
. Di beberapa daerah
, gua batu digunakan untuk
meyimpan
jenazah seluruh anggota keluarga. Patung kayu yang disebut tau tau biasanya diletakkan
di gua
dan
menghadap
ke
luar. Peti mati
bayi
atau
anak-anak digantung dengan
tali
di sisi
tebing. Tali
tersebut biasanya bertahan
selama setahun sebelum membusuk dan
membuat
petinya terjatuh.
*) Musik dan Tarian
Suku Toraja
melakukan tarian dalam beberapa acara , kebanyakan dalam upacara
penguburan
. Mereka menari untuk menunjukkan
rasa
duka
cita,
dan untuk menghormati sekaligus menyemangati
arwah almarhum
karena sang arwah
akan
menjalani
perjalanan
panjang menuju akhirat.
Pertama-tama
, sekelompok pria
membentuk lingkaran dan
menyanyikan
lagu
sepanjang malam
untuk
menghormati
almarhum (ritual terseebut disebut Ma'badong). Ritual tersebut
dianggap
sebagai komponen terpenting
dalam
upacara pemakaman . Pada hari
kedua
pemakaman
, tarian prajurit
Ma'randing ditampilkan
untuk memuji keberanian
almarhum semasa hidupnya. Beberapa orang pria melakukan tarian dengan pedang, prisai besar
dari kulit kerbau, helm tanduk kerbau
, dan berbagai ornamen lainnya. Tarian
Ma'randing mengawali prosesi ketika
jenazah
dibawa
dari
lumbung padi menuju rante, tempat upacara
pemakaman
. Selama upacara, para perempuan
dewasa melakukan tarian
Ma'katia sambil bernyanyi dan
mengenakan kostum baju berbulu. Tarian Ma'akatia
bertujuan untuk mengingatkan
hadirin
pada
kemurahan
hati dan
kesetiaan almarhum. Setelah penyembelihan
kerbau dan babi, sekelompok anak lelaki dan
perempuan
bertepuk tangan sambil melakukan tarian
ceria yang disebut
Ma'dondan.
Tarian Manganda'
ditampilkan
pada
ritual
Ma'Bua'.
Seperti di
masyarakat
agraris
lainnya, suku Toraja bernyanyi dan menari
selama
musim panen. Tarian
Ma'bugi dilakukan
untuk
merayakan Hari
Pengucapan Syukur dan tarian Ma'gandangi ditampilkan ketika suku Toraja
sedang menumbuk beras. Ada
beberapa
tarian
perang,
misalnya
tarian Manimbong yang
dilakukan oleh pria dan kemudian diikuti
oleh tarian Ma'dandan oleh perempuan. Agama Aluk mengatur kapan dan bagaimana suku
Toraja
menari. Sebuah tarian
yang
disebut
Ma'bua hanya bisa
dilakukan 12 tahun sekali. Ma'bua
adalah
upacara
Toraja yang penting ketika pemuka agama mengenakan kepala kerbau dan menari di
sekeliling pohon
suci.
Alat musik tradisional Toraja adalah
suling bambu yang disebut Pa'suling. Suling
berlubang
enam
ini
dimainkan
pada
banyak
tarian,
seperti pada tarian Ma'bondensan, ketika alat
ini dimainkan bersama
sekelompok pria yang menari dengan
tidak
berbaju dan berkuku jari panjang. Suku Toraja juga mempunyai
alat
musik
lainnya,
misalnya
Pa'pelle yang
dibuat dari
daun palem dan dimainkan pada waktu panen dan ketika upacara pembukaan rumah.
*) Bahasa
Bahasa Toraja adalah bahasa yang dominan di Tana Toraja, dengan Sa'dan Toraja sebagai dialek bahasa yang utama. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional adalah bahasa
resmi dan digunakan oleh masyarakat,
akan tetapi bahasa Toraja pun diajarkan di semua sekolah dasar di Tana Toraja.
Ragam bahasa di Toraja antara lain Kalumpang, Mamasa, Tae' , Talondo' , Toala' , dan Toraja-Sa'dan,
dan termasuk dalam
rumpun
bahasa Melayu-Polinesia dari bahasa Austronesia. Pada mulanya,
sifat geografis Tana Toraja yang terisolasi
membentuk
banyak dialek dalam
bahasa Toraja itu
sendiri. Setelah adanya pemerintahan
resmi di Tana Toraja, beberapa dialek Toraja menjadi
terpengaruh oleh bahasa lain
melalui
proses transmigrasi, yang diperkenalkan sejak masa penjajahan. Hal itu adalah penyebab utama dari keragaman dalam bahasa Toraja.
Keragaman
dalam bahasa Toraja
|
||||||||||||||||||||||||||||||||
Sumber : Gordon (2005).
|
||||||||||||||||||||||||||||||||
Ciri yang
menonjol
dalam
bahasa
Toraja
adalah
gagasan
tentang duka cita kematian. Pentingnya
upacara
kematian
di Toraja telah
membuat bahasa mereka dapat mengekspresikan
perasaan
duka cita
dan proses berkabung dalam beberapa tingkatan yang rumit.
Bahasa Toraja mempunyai banyak istilah
untuk
menunjukkan
kesedihan, kerinduan,
depresi, dan tekanan mental. Merupakan suatu katarsis bagi orang Toraja apabila dapat secara
jelas menunjukkan pengaruh
dari peristiwa kehilangan seseorang; hal tersebut kadang-kadang juga ditujukan untuk mengurangi
penderitaan karena duka cita itu sendiri.
*) Ekonomi
Sebelum masa Orde Baru,
ekonomi Toraja bergantung pada pertanian
dengan adanya terasering di lereng-lereng gunung dan bahan makanan pendukungnya adalah singkong dan jagung. Banyak waktu dan
tenaga dihabiskan suku Toraja untuk berternak kerbau, babi, dan ayam yang dibutuhkan terutama untuk upacara pengorbanan dan sebagai makanan.
Satu-satunya
industri pertanian di
Toraja adalah pabrik kopi Jepang, Kopi
Toraja.
Dengan dimulainya Orde Baru
pada tahun 1965, ekonomi Indonesia mulai berkembang dan membuka diri pada investasi
asing. Banyak perusahaan minyak dan pertambangan Multinasional membuka
usaha
baru
di
Indonesia. Masyarakat Toraja, khususnya generasi muda, banyak yang berpindah untuk bekerja di perusahaan asing.
Mereka
pergi
ke
Kalimantan untuk kayu
dan minyak,
ke
Papua untuk menambang, dan ke kota-kota di Sulawesi dan Jawa. Perpindahan ini terjadi sampai tahun 1985.
Ekonomi Toraja secara bertahap
beralih menjadi pariwisata
berawal pada tahun 1984. Antara tahun 1984 dan 1997, masyarakat Toraja memperoleh pendapatan dengan bekerja di hotel, menjadi pemandu wisata, atau menjual cinderamata. Timbulnya ketidakstabilan
politik dan ekonomi Indonesia pada akhir 1990-an
(termasuk berbagai konflik
agama
di Sulawesi) telah menyebabkan
pariwisata Toraja menurun secara drastis.
Toraja lalu dikenal sebagai tempat asal dari kopi Indonesia. Kopi Arabika
ini
terutama dijalankan oleh
pengusaha
kecil.
*)
Filosofi Tau
Secara sadar atau tidak sadar, masyarakat Toraja hidup dan tumbuh dalam sebuah tatanan masyarakat yang menganut filosofi Tau. Filosofi Tau dibutuhkan sebagai pegangan dan arah menjadi manusia (manusia="tau" dalam bahasa toraja) sesungguhnya dalam konteks masyarakat toraja. Filosofi Tau memiliki empat pilar utama yang mengharuskan setiap masyarakat Toraja untuk menggapainya, antara lain:
- Sugi' (Kaya) - Barani (Berani) - Manarang (Pintar) - Kinawa (memiliki
nilai-nilai luhur, agamis, bijaksana) Keempat pilar di atas tidak dapat di tafsirkan secara bebas karena memiliki makna yang lebih dalam daripada pemahaman
kata secara bebas. Seorang Toraja
menjadi
manusia
yang
sesungguhnya
ketika dia telah memiliki dan hidup sebagai Tau.
Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Toraja
Opini saya : Suku Toraja merupakan salah satu suku yang terdapat di
Indonesia. Suku ini memiliki karakter dan ciri khas yang khusus.
Masyarakatnya juga memiliki ciri khas tersendiri, yang
membuatnya berbeda dengan masyarakat dari suku lainnya.
Opini saya : Suku Toraja merupakan salah satu suku yang terdapat di
Indonesia. Suku ini memiliki karakter dan ciri khas yang khusus.
Masyarakatnya juga memiliki ciri khas tersendiri, yang
membuatnya berbeda dengan masyarakat dari suku lainnya.
0 komentar:
Posting Komentar